Seiiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan maka kebutuhan permintaan daging khususnya daging sapi menjadi semakin meningkat. Sementara laju peningkatan populasi ternak sapi di dalam negeri sebagai bahan baku produksi daging tidak dapat mengimbangi laju permintaan sehingga ketersediaan daging dalam negeri mengalami kekurangan. Salah satu faktor penghambat laju peningkatan populasi adalah pemotongan sapi betina produktif yang semakin tinggi sebagai akibat desakan untuk mencukupi permintaan. Mengingat pola peternakan rakyat adalah sebagai sambilan dan investasi keluarga, pada umumnya penjualan sapi betina cukup tinggi pada musim paceklik ataupun pada saat tertentu terkait dengan kebutuhan dana cash (hari raya, awal tahun masuk sekolah).
Sementara dari aspek perdagangan, terjadi kecenderungan harga sapi betina lebih murah bila dibandingkan harga sapi jantan. Kondisi demikian, telah berlangsung cukup lama dan semakin tidak terkendali terutama terjadi pada daerah sumber ternak. Hal ini akibat kurang efektifnya pelaksanaan pengawasan pemotongan sapi betina produktif sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang Undang Petenakan dan Kesehatan Hewan. Berkenaan dengan hal tersebut, diperlukan langkah penyelamatan pemotongan sapi betina produktif secara efektif dan terprogram, melalui program aksi penyelamatan sapi betina produktif dalam rangka Program Swasembada Daging Sapi 2014.
Pertumbuhan populasi sapi potong nasional dalam 4 tahun terakhir, mengalami tren peningkatan rata-rata sebesar 5,03% atau 10.875.120 ekor pada tahun 2006, menjadi 12.610.000 ekor pada tahun 2009. Peningkatan populasi sapi potong tersebut belum mampu untuk mencukupi permintaan konsumsi dalam negeri karena kecenderungan peningkatan daya beli dan pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini ditunjukkan adanya kecendrungan kenaikan impor bakalan sapi potong rata-rata 28,3% dalam 4 tahun terakhir yaitu 363.443 ekor (2006) menjadi 765,488 ekor (2009) dan daging rata-rata 4,1% atau 62.400 ton (2006) menjadi 70.000 ton (2009). Kenaikan trend impor utamanya bakalan sapi potong yang cukup signifikan tersebut dikarenakan sulitnya para pelaku industri feedlotters mendapatkan bakalan sapi potong dalam negeri yang terkait dengan masih rendahnya kinerja usaha budidaya sapi potong yang digeluti oleh sekitar sekitar 4.572.766 Rumah Tangga Petani Peternak.
Keberpihakan pemerintah dalam pemberdayaan potensi sumberdaya domestik (SDA, SDM dan kelembagaan peternakan) ditunjukkan oleh terbitnya UU Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai paying hokum pembangunan peternakan, serta diterbitkannya blue print Swasembada Daging Sapi 2014 yang intinya menggambarkan road map pencapaian swasembada daging sapi dalam negeri, diikuti dengan regulasi pembatasan impor bakalan sapi potong yang efektif dilakukan pada bulan april 2010.
Berbagai program telah diimplementasikan oleh Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian dalam berbagai program dan kegiatan strategis melalui pola pemberdayaan dan fasilitasi kelembagaan petani peternak sapi potong dalam rangka akselerasi pertumbuhan populasi sapi potong dalam negeri, sekaligus mengeleminir berbagai faktor penghambat laju pertumbuhan populasi sapi potong dalam negeri.
Salah satu factor penghambat laju pertumbuhan populasi adalah terjadinya tindakan pemotongan sapi betina produktif yang semakin kurang terkendali sebagai akibat ketidak seimbangan supplay-demand sapi potong dalam negeri serta adanya desakan kebutuhan ekonomi bagi peternak sehingga sapi betina produktif yang dimilkinya diperjual belikan dan akhirnya berujung di RPH. Hal ini juga didukung situasi pasar yang menjadikan harga sapi betina lebih murah dari sapi jantan. Bahkan dapat diprediksikan bahwa kecenderungan penjualan sapi betina oleh peternak meningkat tajam ketika musim paceklik, mengingat pola beternak sapi adalah sebagai investasi keluarga, belum sebagai komoditi bisnis.
Disamping itu, menurunnya populasi ternak sapi betina di masyarakat juga sebagai akibat kurangnya animo masyarakat memelihara sapi betina karena dianggap terlalu lama memetik hasilnya. Kondisi demikian, telah berlangsung cukup lama dan semakin tidak terkendali oleh karena pelaksanaan fungsi pengawasan dan pencegahan pemotongan sapi betina produktif belum optimal, meskipun peraturan perundangan yang melarang pemotongan ternak betina produktif telah diundangkan.
Berkenaan dengan hal itu, pada tahun 2010 Direktorat Jenderal Peternakan mengalokasikan anggaran APBN untuk memfasilitasi kelompok tani ternak yang potensil di lokasi strategis guna Melakukan kegiatan penyelamatan sapi betina produktif yang diperdagangkan dengan tujuan akhir di RPH.
Untuk terselenggaranya pelaksanaan kegiatan dimaksud, Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia menyusun Pedoman Pelaksanaan Penyelamatan Sapi Betina Produktif untuk dijadikan acuan bagi pelaksana baik di tingkat Pusat, Dinas yang membidangi fungsi Peternakan Provinsi dan Kabupaten/Kota serta berbagai stakeholder terkait lainnya, dan diharapkan kepada Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) menindak lanjutinya dalam Petunjuk Teknis yang berbasis sumber daya lokal spesifik masing-masing daerah,tanpa keluar dari substansi dan koridor yang tersurat dalam Pedoman Pelaksanaan Penyelamatan Sapi Betina Produktif.
blog yang bagus kun..salut
ReplyDelete