Menekan Biaya Dengan Peningkatan Efisiensi
Penanganan
penyakit unggas secara nasional masih perlu ditingkatkan dalam upaya untuk
menekan biaya pengobatan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit, yang
merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai lost dalam budidaya unggas.
Upaya
menekan biaya produksi (HPP) melalui penekanan biaya pakan terasa lebih sulit
dibandingkan menekan tingkat kematian dan biaya pemberian obat atau vaksin.
Sementara tindakan preventif masih berkisar pada pencegahan penyakit terbatas
pada upaya vaksinasi. Kerugian secara nasional yang diakibatkan oleh kematian
saat pemeliharaan di broiler masih sangat tinggi, lebih dari Rp.700 miliar,
dengan asumsi tingkat kematian 5 persen.
Belum
termasuk kerugian disebabkan karena terserang penyakit subklinis yang memang
tidak menunjukkan tampak adanya gejala klinis sama sekali, tetapi menyebabkan
penurunan efisiensi atau membengkaknya FCR dikarenakan meningkatnya alokasi
nutrisi untuk melawan penyakit subklinis dan atau pun karena menurunnya
kemampuan menyerap dikarenakan kerusakan jaringan usus halus karena penyakit
subklinis tersebut.
Paradigma
kedua yang harus juga sudah harus menjadi mind set peternak unggas adalah
‘mencegah tetap lebih baik dari pada mengobati’. Termasuk di dalamnya adalah
kesadaran penerapan langkah-langkah ‘biosekuriti’ sebagai upaya pencegahan
penyakit masuk ke dalam farm, terlebih dalam memasuki masa pancaroba, peralihan
masuk ke musim penghujan.
Avian Influenza (AI)
akan tetap menjadi ancaman bagi dunia usaha perunggasan, dalam hal ini bebek.
Hal ini sekaligus mendobrak paradigma lama bahwa selama ini bebek diyakini oleh
para ilmuwan, adalah spesies yang tahan terhadap AI walaupun sebagai carrier
tetapi tidak menunjukkan gejala klinis. Apakah dengan kebijakan vaksinasi untuk
melawan penyakit AI, dibandingkan dengan kebijakan stamping out (sebagaimana
diterapkan di Vietnam dan Thailand), memang tidak bisa dimaksudkan untuk
eradikasi AI?
Para
peneliti harus segera ikut menelusuri dan menerapkan bioteknologi vaksin
(termasuk reverse genetics) dan bioteknologi deteksi (dini) cepat penyakit
hewan secara epidemiologis, surveilans dan monitoring. Tidak hanya melakukan
tindakan antisipatif, juga menerapkan apa yang harus dilakukan oleh peternak
dan petugas dari dinas, jika terjadi wabah (AI misalnya) di suatu daerah secara
cepat dan tepat dengan SOP yang sudah tersosialisasi dengan baik.
Dibutuhkan
upaya serius dan sistematis untuk melakukan tindakan konkret dan antisipatif
dalam penanganan kasus penyakit hewan menular. Untuk itu sangat dibutuhkan
dukungan dana yang memadai dan tersedia secara kontinyu untuk menopang kegiatan
tersebut.
Selama
ini memang untuk dunia usaha peternakan unggas, terutama unggas komersial tidak
bisa mengharap kucuran dana dari pemerintah. Upaya untuk menyisihkan kutipan
atau iuran (check off atau levy) beserta dana CSR dari pelaku industri besar
perlu dialokasikan untuk menunjang kegiatan partisipatif penanggulangan AI
secara nasional. Baik dalam bentuk kampanye peningkatan biosekuriti dengan
program desinfeksi & vaksinasi, maupun dalam membangun sentra ataupun
pos-pos monitoring AI di tempat-tempat strategis inherent dengan program
PDSR/CMU.
Sejalan
apa yang digagas selama ini, sebaiknya ada aturan yang bisa memaksa semua
stakeholders perunggasan untuk mengalokasikan dana dalam bentuk ‘kutipan’ atau
check off system, dan atau mengalokasikan sebagian net profit-nya dalam bentuk
CSR. Apalagi jika mengingat bahwa omzet di dalam perunggasan selama ini sudah
melebihi 30 triliun.
Biasanya
dalam dunia bisnis 20-30% dari omzet digunakan untuk kegiatan ‘marketing’.
Anggap saja 10%, maka setidaknya harus ada dana 3 triliun yang harus
dialokasikan untuk mendukung kegiatan marketing di industri perunggasan. Dengan
demikian diharapkan ke depannya masyarakat perunggasan harus bisa dan mampu
mewujudkan perunggasan nasional yang tangguh dan berdaya saing.
Andai
saja apa yang sudah dipraktekkan di dunia usaha sawit, yang memberikan semacam
tax allowance, maka dunia usaha perunggasan juga perlu insentif dan support
dari pemerintah berupa kebijakan yang kondusif, termasuk peningkatan efisiensi
dalam bentuk dukungan terhadap pola kemitraan ‘Vertical Integrated Poultry
System’.
Perlu
dijajaki pemahaman era baru oleh KPPU agar lebih akomodatif dan memahami dengan
benar masalah tata niaga yang sangat panjang di dunia bisnis perunggasan di
negeri ini. Dengan demikian, diharapkan perunggasan nasional bisa meningkatkan
efisiensi daya saingnya, dengan lebih memperhatikan aspek profesionalisme dan
scale of economy dalam aspek budidaya.
0 Response to " Menekan Biaya Dengan Peningkatan Efisiensi"
Post a Comment
semoga bisa bermanfat.