PERKEMBANGAN
AVIAN INFLUENZA DI INDONESIA: Karakter Dulu dan Kini
Penyebaran
penyakit tersebut terus meluas ke berbagai provinsi lain, dan pada tahun 2007
hampir semua provinsi dilaporkan endemis penyakit AI pada unggas, kecuali
Provinsi Maluku dan Gorontalo. Wabah AI tersebut dapat dikatakan terkendali
namun kasus yang bersifat sporadik masih ditemukan di beberapa daerah padat
peternakan unggas, bahkan wabah akhirnya terjadi di Gorontalo yang semula
merupakan daerah bebas AI.
Manifestasi
klinis penyakit AI pada unggas secara umum sangat tergantung pada tingkat
patogenisitas virus. Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi, dapat
bersifat asimtomatik sampai dengan teramati gejala infeksi multisistemik.
Beberapa kasus penyakit AI bersifat sangat akut dan kadang tidak teramati
gejala klinis yang nyata, tetapi berupa kematian unggas tinggi, mencapai 100%
populasi.
Virus
AI yang menyebabkan kematian tinggi pada unggas diklasifikasikan sebagai virus
AI patogenisitas tinggi atau dikenal sebagai highly pathogenic avian influenza (HPAI). Perkembangan penyakit AI
di lapangan, sejak kasus AI pertama kali terjadi sampai sekarang teramati
adanya variasi gejala klinis dan patologis.
Pada
pertengahan tahun 2003, terjadi kematian cukup tinggi sejumlah ayam ras petelur
tanpa teramati lesi spesifik tertentu dan berlangsung sangat akut. Kondisi
tersebut disebabkan oleh kemampuan virus AI untuk menginduksi apoptosis atau
kematian sel terprogram serta belum adanya antibodi yang berperan dalam
netralisasi virus. Kondisi demikian menyebabkan kematian ayam dengan cepat dan
tanpa teramati adanya kerusakan organ tertentu.
Dalam
perkembangannya, infeksi virus AI meluas ke berbagai spesies unggas lain,
seperti ayam pedaging (broiler) dan ayam buras. Infeksi virus AI pada spesies
unggas tersebut dapat menimbulkan gejala klinis yang karakteristik untuk virus
HPAI.
Gejala
umum infeksi VAI, yaitu lesu, nafsu makan dan minum turun, ngorok, leleran
hidung, sedangkan gejala khas, yaitu hemoragi dan sianosis pada daerah fasial,
balung, pial, tungkai, telapak kaki, dan daerah lain yang kurang berbulu,
misalnya kulit dada. Pada umumnya segera setelah teramati gejala klinis
tersebut diikuti kematian yang cukup tinggi dalam waktu singkat. Lesi
karakteristik tersebut konsisten dapat diamati pada ayam ras dan ayam buras.
Gejala klinis penyakit AI pada burung puyuh, dan unggas air lain, yaitu: itik,
entok, dan angsa secara umum tidak menunjukkan gejala klinis yang cukup nyata,
meskipun dapat dijumpai juga gejala spesifik tersebut pada kondisi tertentu.
Pada
pertengahan tahun 2004, dilaporkan adanya kasus penyakit AI tanpa gejala klinis
bersifat seperti penyakit AI. Hasil nekropsi pada kasus tersebut masih teramati
lesi patologis berupa perdarahan subkutan dan organ internal yang juga
karakteristik infeksi virus AI. Identifikasi agen penyakit pada kasus tersebut
secara serologis maupun molekuler terbukti disebabkan oleh VAI subtipe H5N1.
Pada
periode tahun 2005 sampai 2008, sejumlah kasus infeksi VAI menunjukkan
perkembangan klinis cukup menarik. Dalam periode waktu tersebut terlihat ada
tiga bentuk gejala klinis infeksi VAI. Bentuk pertama adalah penyakit AI dengan
tingkat kematian unggas tinggi, berkisar 40% sampai 70%, lebih rendah
dibandingkan kasus AI periode 2003-2004. Di samping itu, kematian unggas
berlangsung lebih lama, antara satu sampai dua minggu.
Pada
umumnya gejala klinis dan lesi patologis yang teramati pada kasus ini tidak
selalu khas penyakit AI. Bentuk yang kedua adalah kasus AI dengan tingkat
mortalitas rendah dan tanpa lesi tersifat penyakit AI. Pada ayam layer terjadi
penurunan kualitas dan kuantitas produksi telur dengan drastis. Hasil nekropsi
pada kasus tersebut terlihat lesi hemoragi yang terbatas pada ovarium.
Bentuk
yang ketiga adalah kasus AI subklinis yang tidak menunjukkan gejala dan
perubahan patologi khas AI, namun dapat dibuktikan adanya titer antibodi
terhadap virus tersebut (walaupun tidak divaksinasi) dan dapat diisolasi adanya
virus AI. Bentuk tersebut sering ditemukan pada ayam buras, itik, burung puyuh,
dan kadangkala terjadi pada broiler maupun layer. Sejumlah analisis menyatakan
bahwa perubahan lesi tersebut dipengaruhi oleh adanya antibodi pada unggas yang
terserang.
Penyebaran
virus di lapangan dapat menyebabkan pendedahan virus pada sejumlah unggas,
sehingga memicu terbentuknya kekebalan terhadap virus AI. Di samping itu,
vaksinasi yang telah dilakukan dapat menstimulasi kekebalan terhadap virus AI
pada unggas yang divaksin. Adanya imunitas tersebut (meskipun titer antibodi
tidak tinggi) dapat menyebabkan proses netralisasi pada infeksi VAI. Kondisi
tersebut menyebabkan infeksi virus AI seolah-olah menjadi kurang virulen
dibanding pada awal kasus, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa virus HPAI
telah mengalami perubahan karakter patogenisitas dengan manifestasi klinis dan
patologis yang berbeda.
Selama
periode tahun 2009 sampai 2011 pada umumnya sejumlah kasus AI di lapangan masih
menunjukkan pola yang sama dengan periode tahun sebelumnya. Menurut pengamatan
penulis dalam menangani AI di lapangan, kasus AI dapat terjadi kematian tinggi
mencapai 80% terutama terjadi pada peternakan yang tidak melakukan vaksinasi.
Lesi makroskopis pada kasus tersebut khas penyakit AI seperti, hemoragi kaki,
telapak kaki dan pial. Di sisi lain, peternakan ayam yang telah melaksanakan
vaksinasi secara baik memang masih dapat terjadi kebocoran namun pada umumnya
kematian sangat rendah 0 sampai 2,5 %.
Lesi
yang teramati pada kasus AI tersebut di atas terbatas pada ovarium dan bersifat
ringan, yaitu hiperemi. Beberapa kasus menunjukkan adanya hemorhagi pada
jantung. Pada kasus tersebut penurunan produksi teramati bervariasi dari 8
sampai 15%. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa pada populasi ayam yang
terserang terdapat antibodi yang memadai sehingga dapat terjadi aktivitas
netralisasi, dan oleh karenanya tidak terjadi lesi yang spesifik, penurunan
produksi yang nyata, dan kematian yang tinggi. Perbaikan produksi dapat dicapai
kembali setelah 21 hari, apabila ditangani dengan tepat dan cepat.
Beberapa
catatan penting pada periode 2009 sampai 2011 dijumpai penyakit AI yang
menyerang pada ayam layer yang masih muda (sekitar umur satu bulan), dan
terjadi kematian tinggi. Di samping itu, teramati kasus AI pada ayam broiler
yang memperlihatkan gejala khas penyakit AI, antara lain hemoragi pada kaki,
organ internal dan lain-lain, yang pada periode sebelumnya belum banyak
dilaporkan. Kasus AI pada broiler pada umumnya tidak menunjukkan lesi dan
karakter kematian yang khas penyakit AI, oleh karena itu banyak peternak
beranggapan ayam broiler tidak peka terhadap penyakit AI, meskipun laporan
beberapa laboratorium mengkonfirmasi kasus penyakit AI pada ayam broiler.
Sumber : (Majalah Pi edisi Oktober 2013 hal 66-68)
0 Response to "PERKEMBANGAN AVIAN INFLUENZA DI INDONESIA: Karakter Dulu dan Kini"
Post a Comment
semoga bisa bermanfat.