Sumbangan Unggas Bagi Ketahanan Pangan Nasional
Konsep
swasembada pangan sangat berkaitan dengan kemandirian suatu negara dalam
menyediakan pangan atau bahan pangan agar tidak bergantung kepada negara lain,
terutama dikaitkan dengan kedaulatan pangan dan penghematan devisa negara.
Indonesia telah mencanangkan swasembada dan swasembada berkelanjutan bagi lima
komoditas pangan utama yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula
konsumsi, yang ditargetkan untuk tercapai pada tahun 2014.
Pangan
tetap dianggap sebagai suatu yang penting, sehingga dikembangkan berbagai
konsep untuk memberikan perhatian serius kepada sektor ini, misalnya konsep
ketahanan pangan (food security), kedaulatan pangan (food sovereignty), dan
juga konsep swasembada pangan (food self-suficiency). Konsep ketahanan pangan,
terutama dikaitkan dengan penghematan dan alokasi sumberdaya di berbagai
sektor. Pasokan pangan dan bahan pangan yang dihasilkan atau diproduksi secara
lebih efisien di suatu kawasan atau negara, dimungkinkan untuk diakses oleh
kawasan atau negara lain.
Swasembada,
diartikan sebagai suatu kondisi di mana suatu negara dapat menopang
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan negara lain. Namun definisi tersebut secara
literal sangat sulit untuk dicapai, karena pada dasarnya tidak ada negara yang
memiliki segala sumberdaya yang diperlukannya. Kesepakatan komunitas
perdagangan internasional menyatakan bahwa yang dimaksud dengan status
swasembada suatu negara adalah apabila kebutuhan konsumsinya minimal 90 persen
dapat dipenuhi oleh produksi domestik.
Sebagai
negara kepulauan dengan penduduk sebesar 240 juta jiwa dan memiliki keragaman
budaya serta preferensi konsumsi yang berbeda, pencapaian swasembada sangat
tergantung kepada cara mengukurnya. Bagi negara berkembang dan berpenduduk
besar seperti Indonesia, konsep swasembada misalnya untuk daging sapi, yang
menggunakan ukuran konsumsi per kapita, merupakan sebuah tantangan, karena unit
satuan tersebut akan sangat menentukan kinerja pasokan daging sapi secara
nasional.
Penggunaan
ukuran konsumsi per kapita terhadap komoditas komposit, seperti daging yang
terdiri dari berbagai jenis daging dan sumbernya, dorongan peningkatan konsumsi
salah satu jenis akan mengurangi konsumsi jenis lainnya. Hal tersebut
disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Tjeppy D. Soedjana, M.Sc dalam presentasinya
pada pertemuan perunggasan membahas “Dilema Perunggasan Nasional” bersama
pemerintah dan stakeholder perunggasan pada tanggal 13 Agustus 2013 di
Kementerian Pertanian.
Lebih
lanjut pada pertemuan tersebut Tjeppy D. Soedjana mengungkapkan komposisi
komoditas daging secara nasional kalau melihat dari data Statistik Peternakan
2011 terdiri dari daging unggas (63%), daging sapi/kerbau (18%), daging
kambing/domba (9%), serta daging babi dan lain-lain (10%) harus dipertahankan
agar tidak terjadi deindustrialisasi salah satu komoditas karena terjadi
dorongan peningkatan konsumsi komoditas lain. Mendorong porsi daging
sapi/kerbau di atas 18% akan menekan porsi komoditas lain, terutama daging
unggas karena daging unggas berperan mensubstitusi daging sapi (positive cross
price elasticity).
Kalau
kita analogikan sama dengan program pemerintah zaman Orde Baru dulu, di mana
penduduk Indonesia Bagian Timur diperkenalkan beras sebagai bahan makanan baru,
padahal sebagian penduduk di sana sudah terbiasa dengan makanan pokok asli
yaitu jagung dan sagu. Akhirnya terjadi peralihan makanan pokok dari jagung dan
sagu ke beras, padahal di Indonesia Bagian Timur penanaman padi masih jarang,
sedangkan sagu dan jagung masih berlimpah, akhirnya kebutuhan beras harus dimasukkan
dari Pulau Jawa dan Sulawesi.
Berdasarkan
data dari Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) didapatkan bahwa tidak
seluruh penduduk Indonesia mengonsumsi daging sapi/kerbau karena alasan budaya
dan preferensi (kesukaan), atau telah terjadinya diversifikasi konsumsi pangan
daging secara alami. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas pangan yang bersifat
high income elastic hanya menempati porsi tertentu dalam himpunan komoditas
pangan, karena respon konsumsi didasarkan kepada tingkat pendapatan rumah tangga
konsumen.
Secara
alamiah konsumsi daging yang bersumber dari hewan/ ternak (dan ikan) sudah
menunjukkan adanya diversifikasi pangan hewani yang dinyatakan oleh adanya
besaran cross-price elasticity (elastisitas harga silang) yang bertanda positif
(+) antara daging sapi dan daging kambing/domba, antara daging sapi dan daging
unggas, serta antara daging unggas dan ikan. Elastisitas harga silang (+)
menjelaskan bahwa apabila harga daging sapi naik, maka konsumsi daging ayam
akan naik. Dengan demikian, peningkatan konsumsi daging sapi secara nasional
(berbasis denominator total penduduk) akan mendorong penurunan konsumsi daging
dari sumber lain (trade off).
Pangsa
komoditas daging berdasarkan data Susenas 2008-2011 secara keseluruhan untuk
konsumen daging sapi dan kerbau di wilayah perkotaan dan perdesaan hanya
diwakili oleh 26,15% (2002), pada 2005 menurun menjadi 21,93%, tahun 2008 turun
lagi menjadi 16,18% dan bahkan 2011 hanya diwakili oleh 16,16% dari penduduk
Indonesia. Konsumen daging unggas total sebesar 65,46% (2002) turun menjadi
63,48% (2005), turun lagi 57,67% (2008) dan terakhir turun 56,98% (2011) dari
penduduk Indonesia.
Produksi
daging sapi dan kerbau tahun 2008 mencapai 431.543 ton dengan penduduk sebesar
228.523.300 jiwa dan partisipasi konsumsi sebesar 16,18% (36.975.069 jiwa),
maka konsumsi daging sapi/kerbau telah mencapai 11,67 kg/kapita/tahun. Produksi
daging ayam (2008) mencapai 918.500 ton (ras) dan 349.000 ton (buras) atau
total sebesar 1.267.500 ton, dengan partisipasi konsumsi sebesar 57,67%
(131.857.944 jiwa), maka konsumsi daging ayam pada tahun 2008 telah mencapai
9,62 kg/kapita.
Konsep
tingkat konsumsi yang menggunakan denominator total penduduk dapat diberlakukan
pada sebuah negara kecil, atau di negara besar yang termasuk negara maju, di
mana diversifikasi pangan terutama sumber pangan hewani tidak terlalu
bervariasi. Sebaliknya, bila digunakan di negara besar tetapi masih termasuk
negara berkembang, apalagi negara kepulauan dengan berbagai ragam budaya
seperti Indonesia, maka upaya swasembada daging sapi/kerbau akan dimaknai
sebagai upaya menggeser angka konsumsi komoditas sumber protein hewani lainnya
(daging unggas, kambing dan domba, dan sebagainya).
Komoditas
daging unggas telah mampu membangun kondisi dan kapasitas produksi untuk
mencukupi kebutuhan konsumsi protein hewani yang terjangkau secara nasional,
ditunjukkan oleh angka partisipasi konsumsi sekitar 60% (Susenas 2002-2011).
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan masih tingginya jumlah rumah
tangga berpendapatan rendah, perluasan partisipasi konsumsi daging unggas dapat
membantu peningkatan konsumsi gizi masyarakat. Perluasan partisipasi konsumsi
dapat dilakukan melalui diferensiasi harga untuk perkotaan dan perdesaan yang
memiliki elastisitas permintaan yang berbeda, bukan membidik pasar yang sama.
Keseimbangan
pangsa komoditas daging perlu dijaga untuk mempertahankan eksistensi masing-masing
sumber daging karena kondisi yang seimbang dapat dimaknai sebagai
mempertahankan diversifikasi pangan asal ternak. Pangsa komoditas pangan daging
yang bersifat high income elastic tidak perlu didorong peningkatan konsumsinya,
sedangkan yang bersifat income in-elastic seperti daging unggas perlu didorong
perluasan partisipasi konsumsinya sejalan dengan pertambahan penduduk dan masih
tingginya rumah tangga berpendapatan rendah. Atas dasar konsep di atas, tidak
mustahil kalau pemerintah mentargetkan konsumsi daging unggas pada tahun 2017
mencapai 15 kg/kapita/tahun, dibandingkan konsumsi tahun 2012 (7
kg/kapita/tahun) dapat terpenuhi apabila pemerintah mengacu pada konsep
partisipasi konsumsi bukan berdasarkan konsep tingkat konsumsi yang menggunakan
denominator total penduduk (dibagi rata total penduduk Indonesia). Semua ini
dapat diwujudkan dengan melibatkan Pemerintah Daerah DKI Jakarta sebagai pasar
utama dari produk unggas dengan menerapkan Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang
Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas di Propinsi DKI Jakarta dan
Penataan Pasar Unggas Hidup; serta tidak perlu didorong peningkatan konsumsi
yang bersifat high income elastic.WA. 085343217300
Web. www.dokterternak.co.id
0 Response to "Sumbangan Unggas Bagi Ketahanan Pangan Nasional"
Post a Comment
semoga bisa bermanfat.